Daerah

Aroma Ketidakadilan dari Kos Mesum Dusun Sekar, Ngantang

114
×

Aroma Ketidakadilan dari Kos Mesum Dusun Sekar, Ngantang

Share this article
Sebuah rumah kos sederhana di tengah dusun berubah menjadi pusat perhatian, bukan karena prestasi, melainkan karena ulah tak bermoral yang mengusik ketenteraman warga.
Rumah kos di Dusun Sekar, Desa Sidodadi, Ngantang, yang digunakan mesum. (Foto:istimewa)

Sudutkota.id – Dusun Sekar di Desa Sidodadi, Kecamatan Ngantang, biasanya dikenal sebagai kawasan tenang di kaki pegunungan. Namun beberapa minggu terakhir, kedamaian itu terusik.

Sebuah rumah kos sederhana di tengah dusun berubah menjadi pusat perhatian, bukan karena prestasi, melainkan karena ulah tak bermoral yang mengusik ketenteraman warga.

Pada sebuah malam yang berangin, warga setempat, yang telah lama curiga, akhirnya melakukan penggerebekan. Di dalam kos bertingkat satu itu, mereka mendapati sepasang wanita terlibat dalam hubungan menyimpang.

Tak hanya itu, seorang pria berinisial DN mengalami penganiayaan, luka tusuk menganga di tubuhnya. Kasus ini pun kini dalam penanganan Unit PPA Polres Batu.

Kos tersebut, diketahui milik WR, seorang pengusaha toko pertanian asal Dusun Kenteng. Dan diketahui disewakan harian dengan tarif Rp 150 ribu. Lebih mengejutkan, WR bahkan mempromosikannya melalui media sosial, menawarkan “privasi” yang ternyata disalahgunakan untuk aktivitas mesum.

Yang membuat warga semakin geram, hingga Minggu (27/4/2025), belum ada tindakan tegas dari Satpol PP Kabupaten Malang. Tidak ada penyegelan, tidak ada garis polisi. Hanya keheningan, seolah menunggu kasus ini menguap begitu saja.

“Kami sangat kecewa. Sudah viral di media, sudah ada korban, sudah penggerebekan berkali-kali, tapi Satpol PP tetap diam,” kata seorang tokoh masyarakat, meminta namanya dirahasiakan. Ia menilai Satpol PP seolah menutup mata, atau bahkan bermain mata.

Mantan Kabid Penindakan Satpol PP Kabupaten Malang, Handoko, yang kini purna tugas, turut prihatin.

“Saya sudah teruskan informasi ini kepada Kasatpol PP. Semestinya segera ada tindakan, ini soal marwah masyarakat,” ujarnya melalui pesan singkat kepada awak media.

Upaya media menghubungi Kasatpol PP Firmando pun tak membuahkan hasil. Pesan WhatsApp yang dikirim sejak awal April hingga berita ini diterbitkan tetap tak direspons. Sikap diam ini menambah kekecewaan warga, yang mulai mempertanyakan keberpihakan aparat kepada masyarakat kecil.

Padahal, jelas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Malang tentang Larangan Pelacuran, mendirikan fasilitas pelacuran dapat dikenai sanksi kurungan tiga bulan atau denda Rp 15 juta. Warga menilai tidak ada alasan bagi Satpol PP untuk menunda-nunda tindakan.

“Warga sudah tiga kali menggerebek. Yang pertama di bulan puasa tahun lalu, lalu kedua, dan sekarang ini. Kok tetap dibiarkan?” ujar warga lainnya.

Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa ketidakpekaan aparat bisa menciptakan ketidakpercayaan di tengah masyarakat. Apalagi lokasi kos tersebut berdiri hanya beberapa meter dari sebuah masjid, mencoreng sakralitas lingkungan sekitarnya.

Jika Satpol PP Kabupaten Malang tetap tak bergeming, warga mengancam akan melaporkan langsung kepada Bupati Malang atau bahkan Inspektorat. Mereka menuntut adanya evaluasi kinerja, termasuk kemungkinan rolling jabatan Kasatpol PP, demi mencari sosok yang lebih responsif.

“Kami bukan menuntut berlebihan, kami hanya menuntut keadilan. Kami hanya ingin kampung kami kembali bersih dari perilaku menyimpang,” tutup salah satu warga dengan nada getir.

Kini, di tengah langit Ngantang yang sejuk dan pegunungan yang membisu, hanya satu pertanyaan yang menggantung di udara: sampai kapan hukum berpihak pada yang kuat, bukan pada kebenaran? (mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *