Sudutkota.id -Sahabat Alam Indonesia (SALAM) mengingatkan potensi bahaya ekologi dan sosial dari rencana pengembangan geothermal di kawasan Songgoriti dan Arjuno–Welirang yang berada di wilayah padat penduduk Kota Batu dan Malang Raya. Dua wilayah kerja panas bumi (WKP) itu masing-masing memiliki luas 20.340 hektare dan 21.280 hektare yang membentang lintas kabupaten dan kota di Jawa Timur, dan dinilai menyimpan risiko serius jika tidak dikelola dengan prinsip kehati-hatian.
“Energi panas bumi memang digadang sebagai energi hijau, tetapi tidak boleh mengabaikan keselamatan lingkungan dan masyarakat,” tegas Andik Syaifudin, Rabu (24/12/25).
Founder SALAM, Andik Syaifudin, menjelaskan bahwa wilayah Songgoriti dan Cangar Arjuno–Welirang bukan kawasan kosong, melainkan daerah dengan aktivitas warga yang tinggi serta fungsi ekologis penting sebagai kawasan hulu air. Menurutnya, eksplorasi geothermal di kawasan seperti ini menuntut standar keselamatan yang jauh lebih ketat dibanding wilayah minim penduduk.
“Eksplorasi tidak bisa dilakukan sembarangan karena risikonya langsung bersentuhan dengan ruang hidup masyarakat,” ujarnya.
Andik mengungkapkan, potensi bahaya yang dapat muncul antara lain keluarnya gas beracun seperti hidrogen sulfida (H2S) dan karbon dioksida (CO2) yang berisiko menyebabkan gangguan kesehatan hingga kematian. Selain itu, aktivitas pengeboran dan produksi panas bumi juga berpotensi memicu gempa bumi skala kecil yang dapat meresahkan warga sekitar.
“Jika pengelolaan tidak sesuai standar keselamatan, dampaknya bisa sangat fatal bagi manusia dan lingkungan,” katanya.
Selain ancaman keselamatan, dampak lingkungan juga menjadi sorotan utama SALAM. Pembangunan infrastruktur geothermal dinilai berpotensi mengubah bentang alam, merusak ekosistem, serta menurunkan kualitas air tanah yang selama ini menjadi penopang kehidupan warga Malang Raya. Andik menilai, kerusakan lingkungan yang terjadi bisa bersifat jangka panjang dan sulit dipulihkan.
“Energi bersih jangan sampai berubah menjadi sumber kerusakan ekologi baru,” tandasnya.
Menurut Andik, ancaman sosial juga tidak bisa diabaikan, terutama terkait kebutuhan air dalam pengoperasian pembangkit listrik tenaga panas bumi. Ia menyebutkan bahwa proses produksi listrik geothermal membutuhkan air dalam jumlah besar untuk menghasilkan uap. Jika tidak dikendalikan, kondisi ini dikhawatirkan memicu krisis air bersih di masa depan.
“Batu dan sekitarnya adalah kawasan hulu air, sehingga ancaman terhadap ketersediaan air bisa menjadi bencana sosial,” ujarnya.
SALAM juga menyinggung adanya potensi kebocoran fluida panas bumi, korosi pipa, hingga risiko kebakaran akibat gas yang keluar dari dalam tanah. Semua risiko tersebut, kata Andik, harus menjadi pertimbangan serius sebelum proyek dijalankan. Ia menilai, pengalaman penolakan geothermal di sejumlah daerah lain seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan pengembang.
“Jangan sampai konflik dan penolakan muncul karena perencanaan yang mengabaikan dampak,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Andik menegaskan pentingnya transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan proyek energi. Ia juga mendorong pemerintah untuk lebih serius mengembangkan sumber energi terbarukan lain yang dinilai lebih minim risiko, seperti tenaga surya, angin, dan air.
“Energi bersih harus menjadi berkah bagi rakyat, bukan sumber bencana ekologi dan sosial,” pungkasnya.




















