Sudutkota.id – Solidaritas warga Kota Malang untuk korban bencana di Sumatera terwujud melalui konser amal lintas komunitas bertajuk Sound of Humanity. Kegiatan yang digelar sejak pagi hingga malam hari itu berhasil menggalang dana sebesar Rp109.103.256 hanya dalam semalam.
Konser amal tersebut lahir dari empati publik atas bencana yang menimpa masyarakat Sumatera. Ketua Pelaksana Acara, Jatmiko Adi, menegaskan bahwa Sound of Humanity bukan sekadar pertunjukan musik, melainkan ruang perenungan kolektif agar masyarakat turut merasakan duka saudara sebangsa.
“Ini bukan konser euforia atau pesta, tetapi konser perenungan agar kita ikut berduka bersama,” ujar Jatmiko.
Ia menjelaskan, kegiatan ini digagas secara gotong royong oleh lintas komunitas, seniman, dan warga Kota Malang tanpa kepentingan bisnis maupun politik. Inisiatif tersebut muncul sebagai bentuk kepedulian spontan terhadap kondisi kebencanaan di Sumatera yang dinilai belum mendapat perhatian maksimal.
“Ini pergerakan masyarakat Kota Malang yang merasa terpanggil untuk nyengkuyung bareng-bareng membantu Sumatera,” katanya.
Dalam pelaksanaannya, panitia tidak menerapkan sistem tiket masuk. Sebagai gantinya, dibuka donasi sukarela bagi masyarakat yang hadir. Seluruh dana yang terkumpul dipastikan disalurkan 100 persen untuk korban bencana di Sumatera.
“Yang kami buka bukan tiket, melainkan kolektif donasi, dan hasilnya kami sumbangkan sepenuhnya,” tegas Jatmiko.
Lebih lanjut, Jatmiko mengungkapkan bahwa seluruh elemen acara, mulai dari artis, kru produksi, vendor, hingga penyedia lokasi, terlibat tanpa bayaran. Nilai produksi acara bahkan ditaksir mencapai ratusan juta rupiah, sementara para artis, baik lokal maupun nasional, hadir dengan biaya pribadi.
“Kalau dinilai, acara ini bisa mencapai Rp250 sampai Rp300 juta. Namun semuanya murni nol rupiah, gotong royong,” ungkapnya.
Salah satu pengisi acara, MasMo, vokalis grup musik Ngancok Crew, menilai Sound of Humanity sebagai wujud kepedulian nyata yang lahir dari kesadaran kemanusiaan, bukan sekadar agenda hiburan. Ia menyebut kegiatan semacam ini masih jarang digelar di Kota Malang, terlebih dengan skala besar yang sepenuhnya didedikasikan untuk korban bencana alam.
“Event seperti ini menarik karena ini untuk sesama manusia dan jarang ada event besar di Malang yang khusus untuk bencana,” ujar MasMo.
Menurutnya, gerakan solidaritas yang diinisiasi masyarakat patut mendapat apresiasi serius dari pemerintah, baik daerah maupun pusat. Ia menilai kepedulian warga sering kali bergerak lebih cepat dibanding respons kebijakan negara terhadap bencana.
“Ini sangat patut diapresiasi, karena yang bergerak lebih dulu justru masyarakat,” katanya.
MasMo juga menyampaikan kritik terhadap pemerintah yang dinilai belum menunjukkan sense of crisis dan keberpihakan maksimal terhadap korban bencana. Ia menyinggung lambannya respons negara yang kerap dikaitkan dengan kepentingan politik.
“Mungkin pemerintah berpikir ini belum waktunya pemilu, sehingga responsnya terkesan santai,” tegasnya.
Ia berharap, aksi kemanusiaan melalui Sound of Humanity dapat menjadi tamparan moral bagi pemerintah agar lebih hadir dan responsif dalam menetapkan kebijakan, termasuk keberanian menetapkan status bencana nasional.
“Ini bukan soal musik atau panggung, tetapi soal kemanusiaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, terutama negara,” pungkasnya.




















