Opini

ATR/BPN: Penjaga Reforma Agraria atau Pemuas Nafsu Mafia Tanah?

147
×

ATR/BPN: Penjaga Reforma Agraria atau Pemuas Nafsu Mafia Tanah?

Share this article
Mohammad Ababililmujaddidyn, S.Sy., M.H., C.L.A.

“Reforma Agraria adalah amanah konstitusi untuk keadilan sosial. Namun, ketika amanah itu dikhianati, rakyatlah yang paling dulu merasakan derita.”

Reforma Agraria seharusnya menjadi tonggak keadilan bagi rakyat kecil. Namun, dalam praktiknya, banyak kasus memperlihatkan bahwa semangat itu kian memudar.

Salah satu contoh nyata terjadi di Desa Ngepoh, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung — di mana perjuangan rakyat untuk mendapatkan tanah garapan justru kandas di tengah permainan kekuasaan dan kelambanan birokrasi.

Tanah eks HGU PT Margasari Jaya yang telah habis masa berlakunya pada tahun 2008 ternyata tumpang tindih dengan HGU PT Lestari Agro Kencana yang terbit lebih awal, yakni pada tahun 2006.

Secara hukum, hal ini menimbulkan kejanggalan serius: bagaimana mungkin izin baru bisa terbit ketika izin lama belum berakhir?

Lebih mengejutkan lagi, berdasarkan data yang ada, pada tahun 2008 Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Jawa Timur sudah mengeluarkan surat perintah kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Tulungagung untuk melakukan penelitian dan kajian yuridis sebagai dasar redistribusi tanah Reforma Agraria kepada warga Desa Ngepoh.
Namun, hingga kini, tak ada tindak lanjut nyata.

Surat itu seolah hanya menjadi arsip yang berdebu di meja birokrasi. Alih-alih menjadi objek Reforma Agraria, tanah tersebut justru beralih fungsi. Pada tahun 2021, PT Lestari Agro Kencana berganti nama menjadi PT Sang Lestari Abadi.

Dua tahun kemudian, sebagian lahan perkebunannya disulap menjadi kompleks makam swasta bernama Shangrila Memorial Park. Perubahan fungsi lahan ini bukan hanya persoalan moral, tetapi juga pelanggaran hukum.

Berdasarkan hasil Legal Due Diligence (LDD), ditemukan adanya dugaan pelanggaran terhadap sejumlah aturan, antara lain PP Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Tanah Makam, Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung tentang RTRW, serta perizinan KKPR, AMDAL, dan studi kelayakan pembangunan.

Inilah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh Kementerian ATR/BPN: apakah mereka masih berfungsi sebagai Guardian of Land Reform — pelindung hak rakyat atas tanah — atau telah menjadi “tukang stempel” bagi kepentingan bisnis para mafia tanah?

ATR/BPN tidak boleh menjadi lembaga yang kehilangan moral dan keberpihakan. Tugas utama mereka adalah menegakkan keadilan agraria, bukan melayani segelintir pemodal yang memperkaya diri dengan menindas hak rakyat.

Jika ditemukan indikasi tindak pidana serius seperti korupsi atau perusakan lingkungan, ATR/BPN seharusnya segera mengeluarkan rekomendasi untuk diteruskan kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Rakyat menunggu tindakan nyata, bukan alasan.

Negara yang tidak mampu menegakkan keadilan atas tanah adalah negara yang gagal memahami makna kedaulatan rakyat. Tanah bukan sekadar aset ekonomi; ia adalah ruang hidup, sumber penghidupan, dan simbol martabat manusia.

Kasus di Desa Ngepoh hanyalah satu dari sekian banyak cerita getir di negeri agraris ini. Jika negara membiarkan mafia tanah berkuasa atas lahan rakyat, maka Reforma Agraria hanya akan menjadi slogan di spanduk peringatan Hari Tani — tanpa makna dan tanpa keberpihakan.

ATR/BPN harus kembali ke jati dirinya: menjadi penjaga keadilan agraria, bukan pemuas nafsu penguasa tanah.

Penulis: Mohammad Ababililmujaddidyn, S.Sy., M.H., C.L.A

Billy Nobile Law Firm
Office: Ds. Batangsaren, RT02 RW06, Kec. Kauman, Kab. Tulungagung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *