Daerah

Jejak Jaranan Jenggolo: Dari Buyut Samrun (Mbah Gabuk) 1852 hingga Generasi Pelestari

248
×

Jejak Jaranan Jenggolo: Dari Buyut Samrun (Mbah Gabuk) 1852 hingga Generasi Pelestari

Share this article
Jejak Jaranan Jenggolo: Dari Buyut Samrun (Mbah Kabuk) 1852 hingga Generasi Pelestari
Said Abdullah, S.I.P. saat menceritakan sejarah panjang Jaranan Jenggolo, kesenian yang diwariskan sejak tahun 1852 dan masih bertahan hingga kini di Malang.(foto:sudutkota.id/ris)

Sudutkota.id – Budaya Jaranan Jenggolo ternyata menyimpan sejarah panjang sejak abad ke-19. Menurut Said Abdullah, S.I.P., kesenian ini sudah hidup sejak tahun 1852, jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Jaranan ya Jaranan Jenggolo, topeng ya Jenggolo, pencak juga Jenggolo,” ujar Said Abdullah, Jumat (5/9/2025).

Tak hanya jaranan, wilayah Jenggolo juga dikenal sebagai pusat beragam kesenian rakyat mulai dari wayang, topeng, kuda lumping, reog hingga pencak silat. Semua berkembang seiring zaman, meski banyak pula yang mulai tergerus perubahan.

“Generasi kan terus berganti, tetapi saksi hidupnya masih ada yang bisa bercerita,” tutur Said.

Menurutnya, legalitas kelompok kesenian baru muncul setelah kemerdekaan. Sebelum itu, kesenian hanya diwariskan dari generasi ke generasi tanpa nomor induk organisasi.

“Dulu tidak ada legalitas, yang penting berkesenian. Baru setelah merdeka, muncul nama-nama salah satunya Turonggo Seto,” kata Said.

Ia menegaskan, bahwa Jenggolo memiliki peran penting dalam sejarah budaya Jawa Timur. Ia meluruskan bahwa Jenggolo bukanlah sebuah kerajaan, melainkan keraton atau pusat kebudayaan.

“Kalau kerajaan itu ada di Mojokerto, di sini adalah Kraton Jenggolo,” jelasnya.

Bukti peninggalan keraton masih bisa dilihat hingga sekarang, salah satunya pada situs umpak di kawasan setempat. Bagi Said, hal itu menguatkan bahwa Jenggolo adalah pusat budaya yang tidak bisa disamakan dengan wilayah lain.

“Itu memang asli dari sini, bukan dari mana-mana,” ucapnya.

Meski demikian, ia mengakui jaranan Jenggolo saat ini sudah sulit ditemui dalam bentuk aslinya. Beberapa kelompok hanya mempertahankan sedikit unsur tradisi, sementara sisanya berkembang menjadi jaranan kreasi.

“Pelestariannya sekarang malah ada di Donomulyo, karena murid-murid dari Jenggolo justru membawa ilmu ke sana,” ungkap Said.

Selain jaranan, ia juga menyinggung bantengan yang kini populer sebagai kesenian tersendiri. Menurutnya, bantengan sejatinya hanyalah bagian dari pencak silat atau jaranan.

“Mana ada kesenian bantengan? Seharusnya itu pelengkap dari pencak silat dan jaranan,” tutup Said dengan tegas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *