Sudutkota.id – Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), Senin (4/8/2025).
Sidang yang berlangsung di ruang Garuda ini menghadirkan saksi ahli dari pihak terdakwa untuk memberikan keterangan seputar aspek tanggung jawab hukum dalam praktik perekrutan tenaga kerja migran.
Dalam perkara ini, dua terdakwa, yakni YN (35), warga asal Kota Malang, dan FA (38), pria asal Sidoarjo, didakwa melakukan perekrutan dan pengiriman calon pekerja migran secara ilegal. Mereka diketahui sebagai pengelola kantor cabang perusahaan penyalur tenaga kerja yang berlokasi di Kelurahan Bandungrejosari, Kecamatan Sukun, Kota Malang.
Kasus ini mencuat setelah tim gabungan dari Dinas Tenaga Kerja dan kepolisian melakukan penggerebekan di sebuah rumah penampungan tenaga kerja di Malang pada akhir 2024. Di lokasi itu ditemukan sejumlah calon pekerja migran yang akan diberangkatkan ke luar negeri tanpa kelengkapan dokumen resmi.
Penyelidikan kemudian mengarah kepada YN dan FA sebagai pihak yang bertanggung jawab atas operasional perekrutan di kantor cabang perusahaan tersebut. Keduanya lantas didakwa melanggar Pasal 4 dan 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun, dalam persidangan terungkap bahwa kantor cabang tersebut sebenarnya telah memiliki izin operasional dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur yang berlaku sejak Juli 2018 hingga Juli 2025.
Permasalahan muncul karena pada akhir 2024, pemerintah menerapkan kebijakan baru yang mewajibkan pengurusan Surat Izin Usaha Penempatan (SS) tambahan. Izin baru ini masih dalam proses dan belum diterbitkan saat penggerebekan terjadi.
Saksi ahli dari pihak terdakwa, dr. Zulkarnain SH, MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, menegaskan bahwa secara hukum, tanggung jawab tidak bisa serta-merta dibebankan pada individu pekerja.
“Kalau seseorang bertindak atas dasar hubungan kerja dan ada SK penugasan resmi, maka itu menjadi bagian dari perbuatan korporasi. Maka yang bertanggung jawab adalah korporasinya, bukan individunya,” tegas Zulkarnain dalam sidang.
Menurutnya, dalam kasus seperti ini, yang seharusnya dikenai sanksi hukum adalah badan hukum perusahaan, bukan pelaksana teknis di lapangan. Ia juga menilai bahwa dugaan eksploitasi belum cukup kuat dibuktikan secara hukum.
“Kelalaian administratif seperti belum terbitnya dokumen SS tidak serta-merta bisa dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang. Harus ada bukti bahwa pekerja benar-benar dirugikan secara ekonomi atau psikologis,” tambahnya.
Salah satu isu yang dipersoalkan dalam dakwaan adalah pengalihan operasional kantor cabang kepada pihak lain yang tidak memiliki kewenangan. Namun, menurut Zulkarnain, bila pengalihan dilakukan atas instruksi perusahaan pusat dan masih dalam ruang lingkup korporasi, maka tidak bisa serta-merta dianggap pelanggaran individu.
“Jangan sampai mereka yang hanya menjalankan perintah kantor jadi korban kriminalisasi. Kalau korporasinya untung, maka korporasinya pula yang harus menanggung akibat hukumnya,” pungkasnya.(mit)




















