Featured

Menelusuri Jejak 90 Tahun Gereja Katedral Malang di Jantung Kayutangan

35
×

Menelusuri Jejak 90 Tahun Gereja Katedral Malang di Jantung Kayutangan

Share this article
Menelusuri Jejak 90 Tahun Gereja Katedral Malang di Jantung Kayutangan
Gereja Santa Maria Tak Bernoda, lebih dikenal sebagai Gereja Katedral Malang.(foto:sudutkota.id/mit)

Sudutkota.id – Di tengah denyut kehidupan kawasan cagar budaya Kayutangan Heritage, berdiri anggun sebuah bangunan tua yang telah menyatu dengan sejarah spiritual, arsitektural, dan sosial Kota Malang. Gereja Santa Maria Tak Bernoda, lebih dikenal sebagai Gereja Katedral Malang.

Gereja Katedral Malang menjadi titik penanda penting dari dinamika lintas zaman yang hidup di sepanjang poros Jalan Basuki Rahmat. Terletak di wilayah Kelurahan Kiduldalem, Kecamatan Klojen, gereja ini berdiri megah menghadap jalan utama.

Lokasinya sangat strategis: berada persis di utara Toko Sarinah Malang, berdampingan dengan restoran klasik Toko Oen di sebelah barat, serta tak jauh dari Taman Patung Chairil Anwar, sebuah taman mungil yang menghadirkan patung sang penyair nasional tengah memegang buku.

Gereja ini dibangun oleh para misionaris Katolik pada awal 1930-an dan diresmikan pada 30 Oktober 1934. Seiring waktu, terutama setelah terbentuknya Keuskupan Malang pada tahun 1961, gereja ini resmi ditetapkan sebagai katedral, yaitu gereja utama tempat tahta uskup berada.

Hingga hari ini, gereja tersebut menjadi pusat kegiatan keagamaan umat Katolik di wilayah Malang Raya. Ribuan jemaat mengikuti misa harian dan mingguan, sakramen pernikahan dan baptisan, serta berbagai kegiatan sosial yang bersentuhan langsung dengan masyarakat luas.

Lebih dari sekadar tempat ibadah, Katedral Santa Maria Tak Bernoda memainkan peran penting dalam menjalin komunikasi lintas iman, sebuah semangat yang sangat terasa di kota yang dikenal akan pluralisme dan toleransinya.

Baca Juga :  Insiden Unik di Thailand, Gajah Mengambil Makanan Ringan di Toko Kelontong

Secara arsitektural, Gereja Katedral Malang menampilkan gaya neo-gotik Eropa, yang kala itu populer di era Hindia Belanda. Ciri khasnya terlihat dari dua menara tinggi yang lancip, jendela rosacea dari kaca patri, serta lengkung dan pilar tinggi di bagian interior.

Meski telah melewati hampir satu abad, bangunan ini tetap kokoh dan indah, berkat perawatan konsisten dari pihak gereja dan dukungan umat.

Sebuah papan nama hitam berlapis emas di halaman depan menegaskan identitas resminya sebagai Gereja Katolik Paroki Santa Maria Tak Bernoda, Katedral Malang.

Kawasan sekitar katedral tak hanya menyimpan nilai religius, tetapi juga menyatu dengan ikon-ikon sejarah lainnya. Toko Oen, yang berdiri sejak era kolonial 1930-an, masih setia menyajikan es krim dan hidangan klasik Belanda. Interiornya yang tak banyak berubah membuat pengunjung serasa masuk ke lorong waktu.

Tak jauh dari situ, hanya beberapa langkah ke arah timur laut, berdiri Taman Patung Chairil Anwar. Sebuah patung perunggu penyair besar Indonesia berdiri di tengah taman kecil, memegang buku dan menatap ke arah pejalan kaki. Taman ini menjadi ruang kontemplatif yang mempertemukan karya sastra, seni publik, dan keramaian kota.

Kombinasi tiga titik ini, Gereja Katedral, Toko Oen, dan Taman Chairil Anwar membentuk semacam segitiga warisan budaya yang tak hanya menarik secara visual, tetapi juga menyimpan nilai-nilai sejarah, spiritualitas, dan ekspresi kebudayaan.

Baca Juga :  Edan, Bayi Usia 5 Jam Dibuang di Saluran Irigasi Desa Sukolilo Jabung Kabupaten Malang

“Kayutangan ini bukan sekadar kawasan komersial atau wisata, tapi juga tempat di mana sejarah spiritual, budaya, dan sosial Malang bertemu. Dan Gereja Katedral adalah salah satu penandanya,” ujar Romo Yustinus Haryo, salah satu imam yang pernah melayani di Katedral Malang.

Kini, Gereja Katedral Santa Maria Tak Bernoda tidak hanya menjadi pusat keimanan umat Katolik, tetapi juga aset budaya Kota Malang. Pemerintah kota melalui Dinas Kebudayaan telah menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya, sejajar dengan deretan bangunan tua lain di kawasan Klojen dan Kayutangan.

Pada momen-momen besar seperti Natal, Paskah, dan Pekan Suci, gereja ini tak hanya dipenuhi umat Katolik dari berbagai penjuru, tetapi juga menjadi tempat solidaritas lintas iman. Doa bersama, aksi kemanusiaan, dan kegiatan sosial rutin digelar sebagai bentuk kontribusi gereja bagi kota.

Di tengah gegap gempita modernisasi dan komersialisasi, kawasan Kayutangan tetap menyimpan denyut pelan warisan sejarah yang kaya makna. Lonceng gereja masih berdentang, puisi Chairil masih terbaca, dan es krim Toko Oen masih disendok, semuanya menandakan bahwa sejarah bukan sekadar cerita masa lalu, tapi sesuatu yang terus hidup bersama kita hari ini.(mit)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *