Gaya HidupNasional

Triple Burden Disease: Beban Berat Ekonomi Indonesia

289
×

Triple Burden Disease: Beban Berat Ekonomi Indonesia

Share this article
Ilustrasi triple burden disease. (foto: Dok. Undip)

Sudutkota.id- Triple Burden Disease (Tiga beban penyakit) yang dikenal dengan penyakit menular, penyakit tidak menular, dan munculnya penyakit baru membayangi masyarakat Indonesia. Kebanyakan mereka berupa penyakit jantung, diabetes, dan stunting yang tidak hanya menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat Indonesia, tetapi juga memberikan beban ekonomi yang sangat besar.

Biaya pengobatan yang tinggi, hilangnya produktivitas pekerja, dan dampak pada pertumbuhan ekonomi merupakan beberapa konsekuensi dari meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun jumlah kematian berdasarkan penyebab Peningkatan Penyakit Tidak Menular. Data ini dihimpun sejak 1 Januari 2017 hingga 2020/2022, saat long form sensus penduduk dilakukan. Secara keseluruhan, jumlah kematian mencapai 8,07 juta kasus pada kurun waktu tersebut.

Menurut dr. Gamal Albinsaid, dari jumlah tersebut, penyebab terbanyak berasal dari sakit karena penyakit tidak menular, dengan 7,03 juta kasus. Data WHO menunjukkan terdapat 10 penyakit sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia, di antaranya stroke 131,8, jantung iskemik 95,68, diabetes 40,78 kasus kematian per 100 ribu penduduk

Baca Juga :  Program Cek Kesehatan Gratis sebagai Kado Ulang Tahun dari Negara Dimulai 10 Februari 2025

“Hal ini, juga sesuai dengan biaya kasus Penyakit di BPJS Kesehatan tahun 2023, di mana penyakit jantung menjadi penyakit dengan biaya BPJS Kesehatan tertinggi dengan Rp10,28 triliun, diikuti kanker Rp3,54 triliun, dan stroke Rp2,55 triliun,” ujar Anggota DPR RI dari fraksi PKS itu dalam keterangannya yang dikutip pada Kamis (10/10).

Selain itu, berdasarkan hasil SKI 2023, prevalensi stunting sebesar 21,5 persen, atau sekitar 1 dari 5 balita di Indonesia mengalami stunting dengan kasus terbanyak pada kelompok usia 24 sampai 35 bulan.

Namun kasus stunting mengalami penurunan lambat selama 10 tahun terakhir (2013-2023), dari 30,8 persen di tahun 2018 menjadi hingga 21,5 persen di tahun 2023. Untuk tahun 2024 ini target yang perlu dicapai adalah 14 persen, yaitu masih 7,5 persen dari capaian tahun 2023. Tahun 2023, terdapat 11.896.367 keluarga yang beresiko stunting yang berpotensi menghambat penurunan prevalensi stunting.

Anggaran yang sudah dialokasikan untuk penanganan stunting, menurut Gamal sudah cukup memadai, namun kinerja anggaran tersebut belum mencapai target yang diharapkan.

Baca Juga :  Porprov Jatim IX Momentum Tingkatkan Sinergi dan Geliat Ekonomi Daerah

“Di tahun 2021 dengan anggaran Rp35,3 triliun, angka stunting turun 1,7 persen di tahun 2022, Tahun 2022 anggaran Rp34,1 triliun angka stunting turun 0,1 persen pada 2023, dan di tahun 2023 anggaran Rp30 triliun dengan harapan angka stunting turun sekitar 7 persen di tahun 2024,” tuturnya.

Tak hanya itu, faktor overnutrisi juga menjadi sorotan dokter jebolan Universitas Brawijaya ini. Menurut data International Diabetes Federation (IDF) 2021, Indonesia kini menduduki peringkat lima sebagai negara dengan kasus diabetes terbanyak di dunia. Menurut data IDF 2021, ada 19,5 juta orang Indonesia berumur 20-79 tahun yang kena diabetes di Indonesia.

Pada tahun 2011, kasus diabetes di Indonesia masih ada di angka 7,29 juta. Artinya, kasus diabetes di Indonesia meningkat 166,94 persen dalam 10 tahun terakhir.

“IDF juga memprediksi Indonesia masih akan menduduki peringkat 5 di 2045 mendatang. Perkiraannya, kasus diabetes Indonesia akan mencapai 28,6 juta atau meroket 46,6 persen,” pungkasnya. (Ama)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *