Sudutkota.id– Perbatasan Thailand dan Kamboja kembali tenang setelah komandan militer kedua negara bertemu dan menyepakati langkah-langkah untuk menegakkan gencatan senjata, menyusul bentrokan selama lima hari yang menewaskan puluhan orang dan memicu pengungsian massal.
Pertemuan tingkat tinggi antara perwira militer Thailand dan Kamboja berlangsung pada Selasa (29/07/2025) di kawasan perbatasan yang menjadi pusat konflik.
Diskusi ini terjadi sehari setelah pemimpin kedua negara bertemu di Malaysia dan menyetujui gencatan senjata sebagai upaya mengakhiri kekerasan paling mematikan dalam lebih dari satu dekade.
“Para komandan sepakat untuk menghentikan pergerakan pasukan dan memfasilitasi pemulangan korban luka maupun jenazah,” kata Mayor Jenderal Winthai Suvaree, juru bicara militer Thailand, dalam pernyataan kepada media.
Ia menambahkan bahwa masing-masing pihak akan membentuk tim koordinasi yang terdiri dari empat personel untuk menangani potensi gesekan yang mungkin masih terjadi.
Meski gencatan senjata mulai berlaku sejak tengah malam, militer Thailand menyebut masih terjadi serangan dari pihak Kamboja di sedikitnya lima lokasi pada Selasa pagi.
Namun, tuduhan tersebut dibantah oleh pihak Kamboja. Menteri Pertahanan Tea Seiha menegaskan bahwa pasukan Kamboja mematuhi sepenuhnya kesepakatan gencatan senjata dan tidak melakukan pelanggaran apa pun.
Di tengah proses pemulihan ini, aktivitas warga perlahan kembali normal, terutama di distrik Kantharalak, provinsi Sisaket, Thailand, yang terletak sekitar 30 kilometer dari garis depan.
“Saya sangat senang gencatan senjata terjadi,” ujar Chaiya Phumjaroen (51), warga lokal yang kembali membuka tokonya setelah lima hari mengungsi.
“Kalau mereka terus bertempur, kami tidak bisa hidup. Tidak ada pelanggan, tidak ada uang,” sambungnya
Situasi serupa juga terjadi di sisi perbatasan Kamboja. Di provinsi Oddar Meanchey, Ly Kim Eng (63) masih bertahan di tempat penampungan darurat sambil menunggu pengumuman resmi dari pemerintah.
“Kalau sudah aman dan pihak berwenang mempersilakan kami pulang, saya akan segera kembali ke rumah,” katanya.
Ketegangan antara kedua negara sudah berlangsung selama puluhan tahun, utamanya terkait sengketa wilayah di perbatasan. Konflik terbaru ini dipicu oleh insiden penembakan yang menewaskan seorang tentara Kamboja pada akhir Mei, yang kemudian memicu penumpukan pasukan dan meningkatnya ketegangan diplomatik.
Dilansir dari Reuters, kesepakatan damai antara Thailand dan Kamboja tidak lepas dari campur tangan komunitas internasional, khususnya dorongan dari Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Trump memperingatkan bahwa negosiasi perdagangan dengan kedua negara akan dibekukan jika konflik tidak segera dihentikan. Thailand dan Kamboja saat ini menghadapi ancaman tarif impor hingga 36 persen atas barang-barang mereka ke pasar Amerika, yang merupakan tujuan ekspor utama.
Setelah gencatan senjata diumumkan, Trump mengklaim telah berbicara langsung dengan pemimpin kedua negara dan memerintahkan tim perdagangannya untuk kembali membuka negosiasi tarif.
Menteri Keuangan Thailand, Pichai Chunhavajira, menyatakan optimisme bahwa pembicaraan dagang dengan Washington akan selesai sebelum 1 Agustus.
“Kami yakin tarif terhadap produk Thailand tidak akan mencapai 36 persen,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Komisi Urusan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional dari Parlemen Kamboja, Lim Menghour, menegaskan pentingnya kehadiran pengamat internasional untuk memastikan semua ketentuan gencatan senjata dijalankan dengan benar.
“Itulah kunci untuk menjaga kepercayaan dan stabilitas. Pemantauan oleh pihak ketiga sangat diperlukan,” katanya
Para analis menyambut baik kesepakatan ini namun tetap mewanti-wanti potensi keretakan. Thitinan Pongsudhirak, pengamat politik dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, mengatakan bahwa kesepakatan ini merupakan titik temu langka antara kepentingan Amerika Serikat dan China di kawasan Asia Tenggara, namun implementasinya akan bergantung pada komitmen kedua belah pihak.
“Perjanjian gencatan senjata harus ditegakkan dengan serius. Thailand dan Kamboja tidak bisa hanya menandatangani perjanjian lalu mengabaikannya, karena akar permusuhan sudah terlalu dalam,” pungkas Thitinan Pongsudhirak. (kae)