Sudutkota.id – Radang atau inflamasi merupakan respon jaringan tubuh terhadap infeksi dan kerusakan jaringan. Kondisi ini juga disebut sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang diperlukan untuk mengeliminasi penyebab yang mengganggu tubuh.
Mekanisme terjadinya inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan atau sel terhadap suatu rangsangan atau cedera. Obat antiinflamasi yang sering diresepkan oleh dokter dan banyak digunakan masyarakat, yaitu steroid dan nonsteroid (misalnya paracetamol, antalgin dan lain-lain).
Tetapi, obat-obat ini memiliki banyak efek samping, seperti reaksi alergi dan mual muntah. Sehingga, keadaan ini membuat masyarakat cenderung beralih ke pengobatan tradisional menggunakan tanaman-tanaman yang diduga memiliki khasiat sebagai antiinflamasi.
Menurut Dosen Departemen Keilmuan Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang, Dr. dr. Elly Mayangsari, M.Biomed., atau yang sering dikenal dengan sebutan dr. Mayang, selama ini masyarakat memanfaatkan buah pisang kepok (Musa balbisiana) sebagai bahan makanan untuk keperluan pemenuhan nutrisi, sedangkan kulitnya dibuang begitu saja karena dianggap sebagai limbah makanan.
Hal ini memicu ide penelitian dari dr. Mayang untuk memanfaatkan dan membuktikan potensi herbal dari kulit pisang kepok, karena eksplorasi tanaman ini masih terbatas sehingga dilakukan penelitian in vivo untuk mengetahui potensi antiinflamasi dan khasiat dari kulit pisang kepok (Musa balbisiana).
“Dalam penelitiannya membuktikan bahwa kulit pisang kepok ternyata dapat dimanfaatkan sebagai pengobatan antiinflamasi. Uji aktivitas antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan metode uji edema kaki tikus, dengan menggunakan alat pengukur volume kaki yaitu plestimometer yang diisi dengan air raksa,” katanya, 14 Juni 2025.
Metode itu menginduksi pembentukan edema buatan pada telapak kaki tikus dengan menggunakan karagenan 1 persen sebagai penginduksi edema pada semua kelompok perlakuan. Metode ini dipilih karena merupakan metode yang sederhana, mudah dilakukan dan sering dipakai.
“Kulit pisang kepok diberikan secara topikal pada permukaan kulit yang mengalami peradangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kulit pisang kepok (Musa balbisiana) memiliki daya antiinflamasi sebesar 50 persen pada konsentrasi 8 persen,” ujarnya.
Efek antiinflamasi dari kulit pisang kepok (Musa balbisiana) karena adanya senyawa flavonoid. Kandungan aktif flavonoid memiliki aktivitas antiinflamasi yaitu menghambat produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL-1β, IL-6, dan TNF-α.
Uji aktivitas antiinflamasi ini menunjukkan semakin meningkat konsentrasi kulit pisang kepok (Musa balbisiana), maka semakin meningkat juga daya antiinflamasi atau aktivitas antiinflamasinya. Pada konsentrasi 8% memiliki daya antiinflamasi yang paling efektif dalam menghambat edema atau tanda radang lainnya.
“Oleh karena itu, jangan buang limbah kulit pisang karena penelitian dr. Mayang telah membuktikan bahwa kulit pisang kepok (Musa balbisiana) memiliki potensi dan khasiat sebagai antiinflamasi,” tuturnya.
Referensi :
- Ulfa A. The potency of kepok banana peel extract (Musa paradisiaca forma typica) and Uli (Musa paradisiaca sapientum) in increasing superoxide dismutase activity and reducing MDA levels in the liver of hypercholesterolemic rats model. Acta Veterinaria Indonesiana 2020; 8(1): 40–46.
- Cheng YC, Li TS, Su HL, Lee PC, Wang HMD. Transdermal delivery systems of natural products applied to skin therapy and care. Molecules 2020; 25(21): 1–21.
- Ambarwati R and Yulianita. Development of gel formulation that contains pandan leaf transfersome extract system. Fitofarmaka J Ilm Farm 2019; 9(2): 138–43.
- Zulkifli B, Akmal M, Wahyuni S, Siregar TN, Gholib G. Identification of active compounds of kepok banana peel and the effect on testosterone concentration in male rats with high-fat diet. E3S Web Conf 2020; 151(8): 1–5.
5. Maulidya E, Kanedi M, Yulianty, Ernawiati E. The effectiveness of ethanol extract in muli banana peels (Musa acuminata) to heal cut wounds in mice. Biosfer : Jurnal Tadris Biologi 2020; 11(1): 17–25.7.
Artikel ini ditulis oleh:
Dr. dr. Elly Mayangsari, M.Biomed., dosen Departemen Ilmu Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang.