Sudutkota.id– Tren konsumsi konten absurd yang makin marak di media sosial mulai memunculkan gejala brain rot pada anak-anak dan remaja. Fenomena ini ditandai dengan penurunan kemampuan berpikir, gangguan emosi, hingga menurunnya kemampuan berbahasa, akibat paparan berlebihan terhadap konten singkat yang tidak masuk akal, seperti video manusia berbentuk pentungan sahur, hiu memakai sepatu, atau cappuccino berkepala balerina
Brain rot kini menjadi istilah populer yang menggambarkan kerusakan mental akibat kebiasaan scrolling tanpa henti, binge watching (menonton secara maraton), dan paparan konten hiper-absurd. Anak-anak menjadi sulit berkonsentrasi, sering lupa instruksi sederhana, atau bahkan kehilangan kosakata yang sebelumnya dikuasai.
Sementara remaja mulai mengalami penurunan kemampuan logika dan terbiasa berpikir dengan cara yang tidak sistematis.
Tak hanya berdampak pada fungsi kognitif, brain rot juga mengikis kemampuan sosial dan emosional. Banyak anak terlihat tertawa histeris saat menonton video absurd, namun menunjukkan ekspresi datar saat diajak berbicara langsung. Sebagian bahkan menunjukkan kemarahan ekstrem saat gadget mereka diambil.
Menanggapi kondisi ini, pakar perkembangan anak dari IPB University, Dr. Melly Latifah, menyatakan bahwa fenomena ini tak boleh diremehkan. Ia menyoroti bahwa anak usia dini sangat rentan karena belum bisa membedakan mana realita dan mana fantasi.
Menurutnya, konten absurd dapat memicu pelepasan dopamin secara berlebihan di otak anak, menyebabkan gangguan pada emosi dan fokus.
“Anak-anak belum mampu membedakan fantasi dan kenyataan. Visual yang ‘hiper-absurd’ dapat memicu pelepasan dopamin secara berlebihan, yang berdampak pada fokus dan emosi,” terangnya dalam keterangan yang dikutip dari laman resmi IPB University.
Namun, Dr. Melly juga menekankan bahwa konten absurd tidak selalu berbahaya jika dikelola dengan bijak. Ia menyarankan orang tua untuk membatasi durasi konsumsi, memberi penjelasan konteks, dan mendorong anak menganalisis isi video secara kritis.
“Kalau diarahkan dengan tepat, konten seperti ini bisa menjadi latihan berpikir kreatif dan melatih kemampuan mengenali pola,” sambungnya.
Gejala brain rot bisa berbeda-beda tergantung usia. Balita biasanya meniru gerakan tidak masuk akal yang mereka lihat. Anak usia sekolah dasar mulai menunjukkan penurunan prestasi belajar. Sementara remaja cenderung berbicara menggunakan bahasa meme dan menunjukkan ketidakpedulian emosional dalam interaksi nyata.
Fenomena brain rot menunjukkan bahwa ledakan konten digital tak selalu berdampak positif. Tanpa kontrol dan edukasi yang memadai, hiburan singkat justru bisa mengikis fungsi dasar otak anak-anak kita. (ama)