Sudutkota.id– Denmark dinobatkan sebagai negara dengan tingkat penuaan paling lambat di dunia berdasarkan studi internasional yang dipublikasikan di jurnal Nature Medicine. Penelitian ini menganalisis lebih dari 160.000 data individu dari 40 negara di empat benua, untuk memahami bagaimana faktor lingkungan, sosial, dan politik memengaruhi proses penuaan biologis.
Peneliti menggunakan alat berbasis kecerdasan buatan bernama biobehavioural age gap, yang mengukur perbedaan antara usia kronologis (sesuai umur lahir) seseorang dengan usia biologis yang diprediksi berdasarkan berbagai faktor risiko. Semakin besar selisih usia yang menunjukkan seseorang tampak lebih tua secara biologis, maka semakin cepat ia menua.
Hasilnya menunjukkan bahwa Denmark memiliki usia biologis rata-rata 2,35 tahun lebih muda dari usia kronologis warganya. Diikuti oleh Belanda dan Finlandia, negara-negara di Eropa utara dan barat menempati posisi teratas sebagai wilayah dengan penuaan paling sehat. Sebaliknya, Mesir mencatat tingkat penuaan tercepat, dengan rata-rata usia biologis 4,75 tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Afrika Selatan dan sejumlah negara Amerika Selatan juga menunjukkan pola serupa.
Prodesor madya bidang penuaan dari Universitas Kopenhagen, Dr. Morten Scheibye-Knudsen turut menanggapi hasil riset tersebut
“Studi ini penting karena menunjukkan bahwa penuaan bukan hanya masalah biologis atau gaya hidup pribadi, tapi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sistem sosial-politik,” terangnya dikutip dari BBC Science Fiction pada Minggu (20/07/2025).
Penelitian ini mengungkap bahwa kualitas udara, kesetaraan gender, dan kondisi sosial ekonomi menjadi faktor penting dalam memperlambat proses penuaan. Namun, penentu paling kuat justru berasal dari stabilitas politik dan sistem demokrasi yang sehat. Hak memilih, kebebasan partai politik, dan kebijakan publik yang berpihak pada kesejahteraan warga berkontribusi besar terhadap penuaan yang lebih sehat.
“Masih menjadi tanda tanya besar mengapa politik bisa berdampak langsung terhadap kecepatan penuaan. Namun, stres kronis akibat ketidakpastian politik atau ketimpangan layanan kesehatan mungkin menjadi pemicunya,” jelas Scheibye-Knudsen.
Selain itu, studi ini menemukan bahwa mereka yang mengalami penuaan biologis dini delapan kali lebih rentan mengalami kesulitan dalam aktivitas harian dan empat kali lebih berisiko mengalami penurunan kognitif.
Meski memberikan wawasan penting, para peneliti mengingatkan bahwa hubungan yang ditemukan bersifat asosiatif, bukan sebab-akibat langsung. Representasi wilayah juga belum merata, dengan Afrika hanya diwakili oleh Mesir dan Afrika Selatan. Namun demikian, temuan ini mempertegas pentingnya investasi global dalam pendidikan dan layanan kesehatan universal.
“Yang mengejutkan, dampak faktor risiko ternyata lebih kuat daripada faktor pelindung. Ini memperlihatkan betapa pentingnya memperkecil kesenjangan kesehatan, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah,” tutup Scheibye-Knudsen. (kae)