Sudutkota.id-China meningkatkan tarif impor dari AS hingga 125 persen sebagai tanggapan atas kenaikan bea yang diputuskan oleh Presiden Donald Trump yang sebelumnya mengumumkan penangguhan pungutan terhadap puluhan negara sekaligus menaikkan tarif impor China secara efektif hingga 145 persen.
Kenaikan tarif yang diumumkan pada Jumat (11/04) tersebut menyebabkan kekacauan ekonomi global yang terpicu oleh kebijakan tarif Trump. Meskipun saham AS mengakhiri minggu dengan kenaikan, emas mencapai rekor tertinggi sebagai aset safe haven, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun mengalami kenaikan mingguan terbesar sejak 2001 dan dolar merosot, menandakan kurangnya kepercayaan pada ekonomi Amerika.
Kecemasan terhadap inflasi di AS meningkat, sementara prediksi risiko resesi semakin kuat. Trump memandang remeh dampak perubahan pasar dan berkeyakinan bahwa dolar akan menguat, sementara pasar obligasi mengalami aksi jual tajam setelah pengumuman kenaikan tarif yang diklaim oleh Trump.
“Ketika orang-orang memahami apa yang kami lakukan, saya pikir dolar akan naik drastis. Pasar obligasi berjalan baik. Ada sedikit momen, tetapi saya menyelesaikan masalah itu dengan sangat cepat,” ungkapnya pada Jumat malam waktu setempat seperti dikutip dari Reuters.
Meskipun ada negosiasi perdagangan dengan lebih dari 75 negara, reaksi dunia terhadap perang dagang yang terjadi belum jelas. Kenaikan tarif antara AS dan China diperkirakan akan mengganggu perdagangan antara dua ekonomi terbesar di dunia, dengan nilai perdagangan mencapai lebih dari 650 miliar dolar pada tahun 2024.
Trump bersikeras bahwa tarif yang dilakukan AS akan dibayar oleh eksportir asing, namun para analis memperkirakan bahwa importir yang akan merasakan dampaknya.
“Kita bisa melakukan apa pun yang kita mau, tetapi kita harus bersikap adil. Kita bisa menetapkan tarif dan mereka bisa memilih untuk tidak berurusan dengan kita atau mereka bisa memilih untuk membayarnya,” sambungnya.
Trump dan Xi Jinping masih memiliki perbedaan pandangan mengenai perdagangan, meskipun ada harapan akan kesepakatan ke depan. China mengindikasikan ini akan menjadi kali terakhirnya menyamai kenaikan tarif AS tetapi tetap membuka pintu bagi jenis pembalasan lain.
“Jika AS benar-benar ingin berunding, mereka harus menghentikan perilakunya yang tidak menentu dan merusak, China tidak akan pernah tunduk pada tekanan maksimal dari AS.” tulis Liu Pengyu, juru bicara kedutaan besar China di AS, di media sosial.
Pasar merespons dengan menurunkan harga dolar dan obligasi, dengan imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun mencatat kenaikan mingguan terbesar dalam dua dekade. Data inflasi AS menunjukkan tekanan harga yang belum merata, namun keputusan mengenai tarif diprediksi akan mempengaruhi prospek inflasi di masa mendatang.
Sentimen konsumen turun, termasuk di kalangan anggota Partai Republik Trump, yang semakin melemah. Penetapan tarif diperkirakan akan mempengaruhi prospek ekonomi di masa mendatang daripada data inflasi yang baru saja dirilis. (Ka)