Sudutkota.id – Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh baru saja mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Mahmoud Abbas di Ramallah, pada Senin (26/2). Mohammad Shtayyeh telah mengumumkan pengunduran diri dari pemerintahannya di sebagian wilayah Tepi Barat karena meningkatnya kekerasan di wilayah pendudukan dan perang di Gaza.
Langkah Shtayyeh ini dilakukan di tengah tekanan AS terhadap Otoritas Palestina untuk merancang struktur politik yang dapat mengatur negara Palestina setelah perang Gaza. Upaya AS ini berlangsung di tengah pertumbuhan ekonomi AS yang semakin meningkat seiring dengan semakin besar dukungan internasional terhadap gencatan senjata di Gaza.
Dilansir dari Al Jazeera, ia mengumumkan pengunduran dirinya di depan wartawan di Ramallah. “Keputusan untuk mengundurkan diri terjadi di tengah eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Tepi Barat dan Yerusalem serta perang, genosida dan kelaparan di Jalur Gaza,” kata Shtayyeh.
“Saya melihat bahwa tahap selanjutnya dan tantangan-tantangannya memerlukan pengaturan pemerintahan dan politik baru yang mempertimbangkan realitas baru di Gaza dan perlunya konsensus Palestina-Palestina berdasarkan persatuan Palestina dan perluasan kesatuan otoritas atas tanah Palestina, “ungkapnya.
Abbas menerima pengunduran diri Shtayyeh dan memintanya untuk tetap menjabat sebagai pengurus sampai pengganti permanen ditunjuk.
Palestina terbagi menjadi dua wilayah yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat. Otoritas Palestina mengontrol wilayah Tepi Barat, sementara Jalur Gaza dikuasai oleh kelompok Hamas.
Otoritas Palestina menerapkan sistem pemerintahan demokrasi parlementer, di mana presiden memegang kewenangan eksekutif yang dibagi bersama Dewan Legislatif. Presiden juga menunjuk Perdana Menteri yang nantinya akan mengangkat para menteri pemerintah.
Otoritas Palestina, yang dibentuk sekitar 30 tahun lalu sebagai bagian dari perjanjian perdamaian sementara Oslo, telah dirusak oleh tuduhan ketidakefektifan dan korupsi. Perdana menteri hanya mempunyai sedikit kekuasaan efektif.
Namun kepergian Shtayyeh menandai perubahan simbolis yang menggarisbawahi tekad Abbas untuk memastikan Otoritas mempertahankan klaimnya atas kepemimpinan seiring meningkatnya tekanan internasional untuk menghidupkan kembali upaya untuk menciptakan negara Palestina berdampingan dengan Israel.
Untuk diketahui, PM Stayyeh menjabat sejak April 2019 lalu. Pria kelahiran Nablus pada 1958 itu merupakan lulusan ekonomi dan bisnis. Sebelum bergelut di pemerintahan, Shtayyeh pernah menjabat sebagai professor pembangunan ekonomi dari tahun 1989 sampai 1991 di Universitas Birzeit, Palestina.
Pada 1994 – 1996 ia menjabat sebagai direktur administrasi dan keuangan untuk Dewan Ekonomi Palestina untuk Pembangunan dan Rekonstruktsi (PECDAR). Shtayyeh berpartisipasi dalam banyak inisiatif politik dan pembangunan. Ia dipercaya untuk menjalankan sebagian besar program pembangunan dan rekonstruksi Palestina.
Dalam hal diplomasi, Shtayyeh juga terlibat dalam negosiasi penyelesaian konflik Palestina-Israel selama ini. Dirinya juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jendral Komisi Pemilihan Umum Pusat Palestina pada 1995 – 1998 dan mencapai kesepakatan dengan Israel untuk menyelenggarakan pemilihan presiden dan legislatif Palestina.
Stayyeh juga dinilai vokal menggaungkan dukungan internasional terhadap Palestina. Awal bulan ini, Stayyeh secara terbuka kembali mendesak penerapan Solusi Dua Negara bagi Palestina dan Israel. Namun, hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh Israel. Ia juga mendesak beberapa negara Barat untuk mengakui kedaulatan negara Palestina dalam dukungannya untuk menjadi anggota tetap PBB. (wn)